Thursday 27 October 2011

Apresiasi Puisi “Tant de Temps” karya Philippe Soupault


Tant de temps


Le temps qui passe

le temps qui ne passe pas

le temps qu'on tue

le temps de compter jusqu'à dix

le temps qu'on n'a pas

le temps qu'il fait

le temps de s'ennuyer

le temps de rêver

le temps de l'agonie

le temps qu'on perd

le temps d'aimer

le temps des cerises

le mauvais temps

et le bon et le beau et le froid et le temps chaud

le temps de se retourner

le temps des adieux

le temps qu'il est bien temps

le temps qui n'est même pas

le temps de cligner de l'œil

le temps relatif

le temps de boire un coup

le temps d'attendre

le temps du bon bout

le temps de mourir

le temps qui ne se mesure pas

le temps de crier gare

le temps mort

et puis l'éternité


Philippe SOUPAULT

Puisi yang berjudul Tant de Temps ini adalah karya Philippe Soupault pada tahun 1953. Philippe Soupault adalah salah satu figur sastrawan prancis abad 20 yang menganut aliran surealisme. Aliran surealisme adalah sebuah aliran seni dan kesusastraan yang menjelajahi dan merayakan alam mimpi dan pikiran bawah sadar melalui penciptaan karya visual, puisi, dan film. Surealisme diluncurkan secara resmi di Paris, Perancis, pada tahun 1924. Ketika itu penulis Perancis Andre Breton menulis karya surealis pertama yang berjudul Les Champs Magnetique” bersama Philippe Soupault yang mengguratkan ambisi-ambisi akan kelahiran gerakan baru.

Sesuai dengan judulnya “Tant de Temps”, yang berarti banyak waktu, dapat kita ketahui bahwa banyaknya waktu di sini merupakan penggambaran dari sebuah perjalanan kehidupan manusia. Ada suasana bahagia, ceria, sedih, kecewa, takut, dan sebagainya. Semuanya terjadi secara bergantian seperti halnya roda yang berputar kadang di atas kadang pula di bawah. Hal itulah yang membuat kehidupan kita menjadi lebih berwarna.

Menurut saya, puisi ini sangat menarik. Mengapa? Pertama, tema yang diangkat sangat unik, yakni waktu. Waktu sendiri adalah sesuatu yang abstrak namun sangat erat hubungannya dalam kehidupan. Penulis sepertinya ingin lebih mengajak kita untuk berpikir mendalam dan bermain dengan imajinasi kita agar dapat memahami puisi ini dengan baik, contohnya : Le temps de l’agonie, seakan – akan kita dapat membayangkan kondisi menjelang kematian (sekarat) kemudian pada dua baris selanjutnya kita diajak membayangkan ketika kita mencintai seseorang, Le temps d’aimer. Hal ini tentu saja merupakan pengaruh dari aliran yang dianutnya, surealisme, membayangkan sesuatu dengan alam bawah sadar kita. Kedua, terdapat pengulangan kata di setiap awal baris atau yang disebut dengan paralelisasi anafora. Gaya penulisan seperti ini memberikan penekanan pada tema yang diangkat agar pembaca dapat menyadari akan betapa pentingnya waktu yang kita miliki. Betapa waktu juga memiliki karakternya masing – masing : le mauvais temps, et le bon et le beau et le froid et le temps chaud. Ketiga, terdapat beberapa kata kiasan, seperti : “Le temps de crier gare” yang bermakna waktu untuk waspada sehingga kita tidak bisa menerjemahkannya kata per kata. Dari segi bahasa, kosa kata yang digunakan secara keseluruhan tidak terlalu sulit untuk dipahami. Semua subjeknya pun konsisten menggunakan kata le temps dari awal baris hingga akhir baris.

Bentuk puisi semacam ini mengingatkan kita pada seorang sastrawan Indonesia yang juga memiliki gaya dalam penulisan yang banyak menggunakan pengulangan sehingga terkesan seperti membaca sebuuah mantra, yakni Sutardji Calzoum Bachri. Contohnya dalam puisi tragedi kawin dengan winka dan Shanghai yang membahas mengenai ping dan pong. Namun demikian kedua karya tersebut membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam untuk memahami dan mengintepretasikannya. Sedangkan puisi Tant de Temps ini kalimatnya terasa lebih lugas dan jelas sehingga dapat lebih mudah ditangkap pesan yang ingin disampaikan penulis.

Kesan yang didapatkan setelah membaca puisi adalah kita sebagai pembaca seperti diajak untuk berkelana dari waktu ke waktu. Mulai waktu yang terlewati Le temps qui passe di masa lalu hingga waktu kematian dan berakhir dengan keabadian di masa yang akan datang. Selain itu, dari puisi tersebut penulis mengingatkan pada kita bahwa seindah apapun hidup, sesukses apapun hidup tetap saja akan ada waktu untuk berpisah Le temps des adieux. Entah berpisah dengan orang – orang yang kita cintai ataupun berpisah dengan harta benda maupun jabatan, sesuatu yang banyak orang kejar untuk memuaskan egonya, dan pada akhirnya semua orang akan mengalaminya, yakni berpisahnya jiwa dengan raga yang menandai akhir kehidupan dii dunia sekaligus awal dari sebuah kehidupan lainnya yang abadi.


No comments:

Post a Comment