Monday 30 April 2012

Pandangan Eksistensialisme Jean Paul Sartre Melalui Cuplikan Autobiografi “Les Mots”


Dalam karya auotobiografinya yang berjudul “Les Mots” ini, Sartre menceritakan pengalaman hidupnya sejak masih masa anak – anak yakni sekitar tahun 1912 di Paris. Pada masa kecilnya, Sartre hidup dengan ibunya, Anne-Marie, dan kakeknya yang bernama Karl Schweitzer. Sedangkan ayahnya yang seorang perwira angkatan laut telah meninggal saat ia masih kecil. Dalam autobiografinya tersebut, Sartre mengenang kakeknya sebagai “seorang lelaki tampan dengan jenggot putih menjuntai, yang selalu menunggu kesempatan berikutnya untuk unjuk kekuasaan ... Dia tampak sangat mirip dengan “Allah Sang Bapa” dengan pembawaannya itu. Dalam buku 90 menit bersama Sartre karya Paul Strathern dikemukakan bahwa kakek Sartre adalah sebuah figur patriarkal khas Prancis pada era tersebut yang kata – katanya berlaku sebagai hukum bagi para penghuni rumah lainnya yang semuanya wanita. Karakter semacam ini pastilah merupakan suatu superego yang mempengaruhi Sartre, akan tetapi Sartre tak bersedia menerima kenyataan bahwa kakeknya memang mempunyai peran psikologis itu dalam dirinya.
Masih dalam cuplikan buku tersebut, Paul Strathern  menjelaskan bahwa Sartre muda dan ibunya sama – sama diperlakukan sebagai anak – anak di rumah sang kakek. Hal ini membuat Sartre lebih memperlakukan Anne-Marie sebagai kakaknya yang paling akrab ketimbang sebagai ibu yang menjadi kebutuhan hakiki di sepanjang hidupnya. Sartre memiliki masa kecil yang bahagia, bahkan ia membuat deklarasi, “Aku adalah seorang jenius.” Tidak ada yang menentang kata – kata tersebut, kakeknya justru merengkuhnya lalu menyebut jenius kecil itu sebagai “Harta karun kecilku!”  Namun demikian, dengan “ketidakjelasannya” yang khas, belakangan hari Sartre menyatakan, “Aku membenci masa kecilku beserta segala sesuatu yang berasal dari sana.”
Dengan gambaran sekilas mengenai cerita masa kecil Sartre tersebut, cuplikan autobiografi ini dapat diulas dengan pendekatan psikologis. Hal ini dikarenakan cerita dalam Les Mots merupakan refleksi masa lalu Sartre yang sarat akan nilai – nilai psikologis yang nantinya akan sangat mempengaruhi cara berpikir serta cara hidupnya sebagai seorang filsuf yang menjunjung eksistensialisme.
Dalam cuplikan karya “les Mots” ini, keadaan tersebut digambarkan pada saat Sartre dan ibunya bingung untuk memutuskan pertunjukan apa yang akan mereka saksikan, antara Le Châtelet, la Maison Électrique dan Le Musée Grévin. Hingga kemudian sang kakek bertanya akan pergi ke mana mereka. Tampak keragu-raguan sang ibu dalam menjawab pertanyaan ayahnya bahwa mereka akan pergi ke bioskop namun segera disambut oleh ekspresi tidak suka oleh sang kakek, hingga kemudian Anne-Marie menambahkan bahwa mereka akan pergi ke bioskop Pantheon yang jaraknya dekat. Dari fragmen tersebut tampak bahwa pengaruh kakek sangat kuat dalam memberikan “pengekangan” pada keluarganya. Hal tersebut diperjelas dengan tindakan sang kakek saat bercerita kepada Monsieur Simonnot tentang anak perempuannya yang mengajak cucunya ke bioskop. Seakan – akan hal tersebut tabu untuk dilakukan. Namun demikian, reaksi Monsieur Simonnot di luar dugaan. Ia menganggap hal tersebut adalah suatu kewajaran karena istrinya pun sering mengajak anaknya ke bioskop.
Dari keadaan yang seperti itu, Sartre remaja mulai banyak membaca buku – buku yang kemudian mengantarkannya menjadi salah satu filsuf besar Prancis. Membicarakan mengenai Jean-Paul Sartre tidak dapat terlepas dari sebuah tema tentang  eksistensialisme. Eksistensialisme sendiri adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Keadaan psikologis dalam keluarga dan juga banyaknya kejadian yang menggoncangkan pikirannya selama hidupnya, Sartre seperti menyimpan sebuah “dendam” atas sebuah “pengekangan” yang selama ini dirasakannya. Ia banyak belajar mengenai filsafat yang menekankan pada unsur eksistensialisme, keberadaan. Ia sangat tertarik dengan pemikiran filsuf – filsuf eksistensialisme terdahulu seperti Soren Kierkegaard, David Hume, Edmund Husserl dan Rene Descartes. Eksistensialisme Sartre ini berakar dalam empirisme Hume (niscaya kita sama sekali tidak dapat mengetahui apapun di luar apa yang benar – benar kita alami) sekaligus rasionalisme Descartes (“cogito, ergo sum” aku berpikir maka aku ada). Filsafat Sartre bergantung pada kebebasan individu untuk memilih, kesadaran memilih dirinya sendiri sebagai suatu keinginan. Eksposisi eksistensialisme Sartre tertuang dalam “L’Existensialism est un humanism yang hanya dalam beberapa tahun saja telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.
Oleh : Anna Rakhmawati
0911130018