Monday 11 June 2012

Persoalan identitas dalam “Peau Noire, Masques Blancs” karya Frantz Fanon



Dalam cerita Peau Noire, Masque blancs ini diceritakan tentang masa kolonialisme bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit hitam di Afrika. Sudut pandang penceritaannya melalui kacamata bangsa kulit hitam. Di alinea pertama, diceritakan bahwa penulis bertemu dengan bangsa kulit putih yang diduga seorang berkebangsaan Jerman atau Rusia yang berbicara bahasa Prancis dengan jelek. Mungkin ia adalah seorang pengacara atau insinyur. Namun, lelaki itu sangat asing dalam kelompok bangsa kulit hitam. Ia dianggap memiliki kepribadian yang berbeda.
Persoalan identitas ditunjukkan dengan pembahasan dalam kalimat – kalimat narasi dan juga contoh dalam kehidupan sehari – hari. Cerita ini sepertinya ingin menjelaskan tentang keadaan sosial pada masa kolonialisme tersebut di mana stereotip berdasarkan warna kulit menjadi salah satu permasalahan yang cukup dominan. Ia mencontohkan dalam film – film amerika kebanyakan yang diadaptasi oleh Prancis ke dalam gaya negro. Diceritakan bahwa orang negro dalam film tersebut sedang mengadakan petualangan laut, meneriakkan semboyan - semboyan klasik, berjalan dengan cara gemetar dan sering terlihat marah. Di akhir cerita, ia meninggal dalam petualangannya. Si penulis tidak mengerti mengapa di Prancis yang dikenal sebagai negara demokratis dengan 60 juta penduduk berkulit putih mensinkronisasikan film tersebut sehingga terlihat penuh kebodohan. Hal tersebut seakan merepresentasikan keadaan dan kepribadian orang – orang kulit hitam. Si penulis pun terlihat tidak senang dengan penggambaran tersebut. Dia menyatakan bahwa orang – orang kulit hitam itu baik, tak pernah berbohong dan tak pernah mencuri. Mereka tidak seburuk yang digambarkan dalam film – film dan diceritakan dalam cerita – cerita yang akhirnya menyebabkan timbulnya kesuperioritasan bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit hitam. Kesuperioritasan tersebut dapat diperlihatkan dengan cara bangsa kulit putih memperlakukan bangsa kulit hitam dengan semena – mena padahal mereka sebenarnya adalah sama. Mereka adalah sama – sama manusia yang memiliki hak – hak yang sama, yakni memperoleh kehidupan yang layak.
                                                                        Oleh : Anna Rakhmawati (0911130018)

No comments:

Post a Comment