Tuesday 22 December 2015

Perjalanan menuju puncak tak pernah mudah. Namun juga tak sulit jika berusaha.


pemandangan gunung Panderman dari kaki gunung
 Masih teringat dalam memori saya tentang perjalanan pertama mendaki gunung. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP kelas 1 dan mengikuti kegiatan jambore pramuka cabang Malang yang diselenggarakan selama 5 hari dan diikuti oleh perwakilan anggota pramuka penggalang Kota Malang. Senang sekali rasanya mendapat kesempatan untuk melakukan pendakian bersama kawan-kawan pramuka. Dari bumi perkemahan Hamid Rusdi Buring kami naik truk sapi ke kawasan gunung Panderman, Desa Pesanggrahan, Kota Batu. Kami memulai pendakian sore hari bersama-sama. Tujuan kami bukanlah puncak, melainkan pos pertama yakni Latar Ombo. Saya merasa senang sekaligus deg-degan karena saya belum memiliki pengalaman mendaki, bagaimana kalau terjadi apa-apa di sana? Namun kekhawatiran saya terhibur dengan pemandangan indah pepohonan di kanan-kiri jalan yang masih asri dan tawa canda kawan-kawan. Begitulah para pramuka memang selalu terlihat bahagia, bukan? :D Menjelang senja, udara mulai terasa dingin dan saya mulai kelelahan. Akhirnya sebelum sampai latar ombo, kakak pembina menyuruh saya untuk berhenti saja jika tidak kuat melanjutkan perjalanan. Nafas saya mulai tersengal – sengal.  Saya pun memutuskan berhenti sambil memperhatikan kawan-kawan lain yang masih melanjutkan perjalanan ke atas. Ternyata udara menjadi semakin dingin saja ketika kita tak berjalan. Saya sedikit kecewa dengan pencapaian saya yang hanya sampai di sini. Namun saya cukup senang karena kemudian pengalaman tersebut menjadi oleh-oleh menarik yang dapat saya ceritakan dalam pelajaran menulis cerita di kelas bahasa Indonesia dan mendapat tanggapan positif dari guru bahasa Indonesia saya yang masih saya ingat hingga sekarang.

pepohonan pinus
    “Anna, naik gunung yuk!” ajak Yudhis, kawan saya sekelas di bangku kuliah.
               “Ke mana?” tanyaku dengan penuh semangat. Bayangan pendakian masih menjadi hal yang menyenangkan bagiku. Apalagi saat itu sedang ngetren buku 5 cm karya Mas Donny Dhirgantoro tentang pendakian ke puncak Mahameru. Bukan hanya deskripsi tentang keindahan alam pegunungan saja yang membuatku tertarik, tetapi juga tentang kekuatan tekad dan keberanian untuk melewati kesulitan-kesulitan hingga akhirnya dapat mencapai tujuan di puncak gunung. Saya akui semangat yang dikobarkan dalam cerita itu begitu mempengaruhi semangat saya dan juga para pembaca lainnya, saya kira.
                “Panderman! Sama Mas Yayan dan Mbak Chloe!”
          Teringat akan misiku yang belum terselesaikan dulu, saya pun mengiyakan ajakannya. Gunung itu bisa terlihat dari loteng rumahku jika langit cerah, terutama saat senja. Cantik sekali. Bolehlah saya mencoba lagi, mumpung ada temannya. Mas Yayan adalah kakak kelasku sedangkan Mbak Chloe adalah dosen kami berkebangsaan Prancis yang memang sangat senang berpetualang, fotografi dan mendaki gunung. Berangkatlah kami berempat dengan motor dan memulai pendakian pada siang hari jam 11. Bisa dibayangkan betapa panasnya siang itu. Sebenarnya saya ingin memulai lebih pagi, tapi apa daya jam karet masih beroperasi. Hehehe.
                Akhirnya setelah kurang lebih 8 tahun, saya kembali lagi ke gunung yang namanya konon berasal dari nama seorang meneer Belanda, Van der Man lalu diucapkan oleh orang jawa menjadi Panderman. Semangat saya masih menggebu-gebu meski di awal mula sudah disapa dengan tanjakan paving yang cukup curam. Saya memandangi puncak gunung yang tampak hijau segar itu. Entah mengapa tiba-tiba rasanya perut saya mual dan cukup berat untuk melanjutkan perjalanan. Saya pun sering berhenti, rasanya tangan saya gemetaran dan mau muntah, padahal saya hanya berjalan tanpa membawa tas di punggung.  Meskipun sudah dihibur dengan gurauan teman-teman, foto-foto, tetap saja rasa mual itu tak kunjung hilang. Ternyata setelah saya cari tahu, gejala tersebut dinamakan altitude sickness atau acute mountain sickness. Hal tersebut dipengaruhi oleh semakin tinggi permukaan yang didaki, semakin menipis kadar oksigen yang masuk ke paru-paru. Apalagi jika stamina pendaki tidak bagus karena kurang berolahraga, misalnya, sehingga kondisi tubuh mudah lelah.  Gejalanya bisa berupa mual, pusing, bahkan muntah.
                Setelah rasa mual saya mereda karena diberi Mbak Chloe minuman susu fermentasi, kami pun melanjutkan perjalanan ke atas. Namun entah sedang apes mungkin, kami berempat yang memang belum pernah sampai puncak, tersesat padahal kami sudah dibekali denah yang digambar langsung oleh juru kunci tempat kami memulai pendakian. Alih-alih mengambil rute menuju puncak, kami justru mengambil rute memutar kembali turun. Kami tersadar setelah bertemu dengan beberapa pendaki lain. Para pendaki banyak yang bermalam di puncak atau di Latar Ombo. Rata-rata mereka berkelompok. Kami memang tidak ada niatan untuk bermalam, sehingga hanya membawa bekal untuk piknik. Akhirnya, ya sudahlah kami kembali mengikuti rute turun dan tidak meneruskan perjalanan ke puncak. Kami pun beristirahat di sebuah pondokan kecil setelah sumber air yang mengalir deras dan sangat segar. Air di sini dapat diminum langsung, tampak beberapa pendaki yang baru memulai mengisi botol minumnya dengan air dari sumber tersebut. Di pondokan kecil itu, kami memasak mie instan, karena kami juga membawa kompor kecil untuk persiapan memasak mie di puncak. Apa daya akhirnya kami cuma bisa menikmati bekal di pondokan kecil sambil ngobrol dan berfoto.  Senja mulai turun, kami pun mengakhiri piknik singkat itu. Cukup melelahkan buatku, namun mungkin tidak bagi sahabat-sahabatku. Maaf puncak Basundara, mungkin lain waktu saya akan datang lagi. Dua kali gagal sampai puncak. Ada rasa kecewa sekaligus harapan untuk mencapai puncaknya sekali lagi. Apalagi Ibu saya yang pada saat remaja pernah berkemah di puncaknya, membuat tekad saya semakin kuat. Saya juga pasti bisa. Entah kapan.
***
                Seiring berjalannya waktu, sahabat-sahabat saya pun pergi. Mereka bekerja di kota yang berbeda-beda, Mbak Chloe pun kembali ke Prancis dan melanjutkan petualangannya. Saya pun demikian. Semenjak bekerja di Jombang, setiap pulang ke Malang saya selalu melewati kawasan pintu gerbang gunung panderman di Desa Pesanggrahan. Terlihat jelas puncaknya memanggil-manggil saya untuk ke sana. Saya hanya berangan-angan dan sempat mengajak adik kelas saya yang sudah sering melakukan pendakian untuk ke sana lagi. Namun waktu belum bersahabat. Hingga kemudian di bulan Oktober 2015, seorang kawan baru dari Jakarta yang saat ini bekerja di Surabaya, Ria, mengajak saya untuk ke sana. Entah apa yang membuatnya tertarik, namun bagi saya ini adalah suatu tanda yang baik. Mumpung musim hujan belum datang menghampiri, saya setujui ajakannya. Kami pun mengajak 3 orang lagi, kali ini dengan Ario dan Mas Dwi yang sudah berpengalaman ke sana beberapa kali, sehingga kami tak khawatir akan tersesat lagi. Lalu saya mendapat teman baru, namanya Kicha, yang tidak disangka-sangka adalah adik kelas saya semasa SMP, dan kami baru menyadari saat berbincang-bincang dalam perjalanan. “Hahaha, Malang memang sempit!” Begitulah reaksi kami.
ladies in action
                Ternyata sudah banyak hal yang berubah sejak terakhir kali saya ke sana. Saat ini sudah ada parkiran yang cukup luas untuk penitipan sepeda motor. Untuk tiket masuknya kami hanya membayar Rp 7.000 saja. Sebelum mendaki, seorang kawan mengingatkanku untuk santai, rileks, dan tak perlu memikirkan apa-apa. Kekhawatiran dari dalam diri sendiri inilah yang justru membuat kita pusing dan mengalami altitude sickness. Emosi saya pun tak semenggebu-gebu yang kemarin. Kali ini lebih ‘woles’ alias slow, yang penting harus bisa menikmati perjalanan. Perjalanan kami isi dengan ngobrol, tertawa, dan berfoto (dengan wajah berpeluh dan berdebu tentunya) dan melupakan segala permasalahan yang kami hadapi masing-masing.
full team :)
               












jalanan tanah berdebu
 Saat itu, musim penghujan belum datang. Tanah kering dan berdebu. Jangan tanya bagaimana rupa pakaian, tas dan sepatu kami yang sudah terkontaminasi butiran-butiran debu. Warna aslinya pun berubah warna menjadi coklat. Kami harus mengenakan masker agar tidak banyak debu yang masuk ke saluran pernapasan kami. Di sepanjang jalan setapak yang kami lalui, kami bertemu dengan para pendaki lain juga yang turun dari puncak. Walaupun tak kenal, kami saling menyapa bahkan tak jarang yang memberikan semangat. Mereka ada yang berkemah di sana namun ada juga yang seperti kami yang hanya piknik. Kami melalui 2 pos, yakni latar ombo dan watu gede. Ada berbagai macam medan yaang kami lalui, seperti medan tanah yang cukup landai, bebatuan besar, batang pohon hingga tanah yang sangat curam sehingga kami harus berpegangan pada akar pohon atau batu yang menyembul di atas tanah. Saat itu ada cerita lucu ketika mandaki medan yang cukup curam, tiba-tiba pijakan dan peganganku tidak terlalu kuat, sehingga saya pun tergelincir ke bawah, padahal di bawah masih ada kawan yang akan berusaha untuk naik. Alih-alih merasa sakit, saya dan kawan-kawan justru tertawa bersama. Kadang menertawakan ketidakberuntungan itu cukup menyenangkan. Selain itu saya juga menjumpai medan yang menurut saya menakutkan. Sebelah kiri adalah tebing dan sebelah kanan adalah jurang  tanpa tanaman sebagai pagarnya, sedangkan tanak pijakan kami hanya selebar sepasang kaki yang berjajar. Saya memiliki phobia ketinggian yang meski tidak parah, rasanya kaki ini sulit digerakkan. Tangan pun agak gemetaran. Saya berpegangan pada tanah tebing, rencananya sih mau merayap di situ seperti spiderman hahaha, namun seorang pendaki yang berpapasan dengan kami, memberi saya semangat untuk tidak takut melewatinya. Akhirnya saya pun berhasil melewati sambil deg-degan dan merapalkan doa dalam hati. Yes! Saya berhasil mengalahkan kekhawatiran dalam diri saya. Mas Dwi selalu berkata ‘landai..landai..’ untuk menyugesti kami saat kami ingin menyerah.

Puncak Basundara
Setelah sekitar 3,5 - 4 jam kami berjibaku dengan medan yang  menguras tenaga, sampailah kami di puncak Basundara, 2045 mdpl. Senang sekali rasanya. Alhamdulillah akhirnya sampai juga. Saya dan teman-teman duduk menikmati bekal. Piknik sambil memandang hamparan indah di hadapan kami. Sejauh mata memandang deretan hijau pepohonan pinus dan kawan-kawannya. Kata orang-orang, di puncak kami nanti akan bertemu dengan segerombolan kera yang bergelantungan di pepohonan. Namun saat itu kami tidak bertemu dengan mereka. Sambil menikmati bekal, saya sempatkan sedikit untuk berdialog dengan diri saya sendiri. Dalam perjalanan, Mas Dwi bertanya pada saya, “Cari apa kamu Na di Panderman? Di sana nggak ada apa-apa lho.”

Saya hanya tersenyum. Sebenarnya saya sudah menemukan apa yang saya cari ketika saya sadar bahwa saya sudah sampai di puncak. Bukan, ini bukan hanya soal pencapaian di puncak. Melainkan saya merasa satu langkah lebih berhasil daripada pendakian sebelumnya. Pikiran saya mulai merancang analogi. Kita ibaratkan sebuah gunung adalah sebuah impian dan cita-cita. Saya gagal di percobaan pertama, saat itu karena saya tidak kuat secara fisik. Kemudian saya mendapat kesempatan kedua, namun lagi-lagi saya gagal, karena keterbatasan informasi yang membuat saya tersesat. Lantas, apakah saya menyerah? Sempat terpikir demikian, namun ternyata saya mendapatkan kesempatan itu lagi, dan kali ini saya sudah tahu kelemahan saya dan berusaha untuk mempersiapkan sebaik mungkin, dan Alhamdulillah saya sampai di puncak. Hei, bukankah perjalanan menuju cita-cita juga seperti itu? Hal ini sekaligus menjadi tamparan bagi saya untuk tak berhenti mencoba di kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya, tentunya dengan bekal yang memadai, terutama bekal mental. Beberapa kawan saya memang baru pertama kali ke sini dan mereka langsung bisa mencapai puncak, tak seperti saya. Namun saya tak peduli. Orang-orang juga tak akan mempersoalkan berapa kali kamu mencoba dari kegagalan, yang mereka tahu adalah kamu sudah berhasil. Lagipula, dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain akan selalu membuat kita merasa kurang beruntung. Bagi saya, sukses adalah ketika kita mampu menjadi lebih baik dari diri kita sendiri di masa lalu, jika saat itu saya hanya mampu sampai Latar Ombo, maka pencapaian saya 10 tahun kemudian adalah Puncak Basundara.
Keindahan dari atas gunung


















Bersama kita bisa 
Berada di puncak bukan berarti kita bisa menyombongkan diri. Saya pernah membaca tulisan, entah siapa yang menulis, semakin dekat kita ke langit, kita harus lebih membumi. Semakin berada di puncak, semakin dekat kita pada langit, harus semakin rendah hati kita bersikap. Ya, mungkin seperti itulah maksudnya. Saya pun baru pemula dan bukan siapa-siapa dibandingkan kawan pendaki lainnya. Udara segar masuk mengaliri saluran pernapasan. Di kejauhan saya melihat ada asap kebakaran, ah rupanya kemarau membuat bagian kecil hutan pegunungan ini berasap. Burung-burung berterbangan bebas di langit biru cerah. Sungguh kecil sekali diri ini di hadapan Sang Maha Kuasa yang menciptakan keindahan ini. Bendera merah putih berdiri gagah di ketinggian 2045 mdpl, menyambut kedatangan anak-anak muda penuh semangat. Namun sayang, beberapa papan dan bebatuan telah dicorat-coret oleh tangan-tangan yang terlampau kreatif namun tak pada tempatnya itu. Semoga ke depannya mereka tersadar untuk lebih menjaga kebersihan dan keindahan alam sekitar. Seperti halnya alam menyediakan berbagai kebutuhan kita.


pique-nique
Medan turunan













Setelah dirasa cukup menikmati piknik, kami pun turun. Saya masih diliputi ketakutan untuk turun, takut tergelincir hingga akhirnya saya memutuskan untuk meluncur seperti anak kecil yang bermain di perosotan namun terbuat dari tanah itu. Sangat asyik hingga hilanglah rasa takut saya. Tak saya pedulikan celana training yang warnanya sudah lebur dengan warna tanah, kapan lagi kita bisa seperti ini. Nikmati saja prosesnya. Akhirnya kami sampai di bawah dengan selamat dengan waktu yang lebih cepat daripada ketika naik tadi.
                



Perjalanan bukan hanya tentang tujuan, pendakian bukan hanya tentang sampai ke puncak, tapi lebih dari itu, perjalanan dan pendakian adalah tentang menikmati proses, mengikis ego, merekatkan persahabatan, menjalani setiap momen, mendengarkan deru nyanyian angin, merasakan terjalnya bebatuan dan tanah, serta ikut merasakan menjadi bagian dari hutan sekitar, maka saya tak lagi merasa sendiri. Jagalah alam sekitar kita, maka alam pun akan memberikan tempatnya untukmu. Salam Lestari!

22122015

Informasi pendukung : infopendaki.com
               

                

Wednesday 15 July 2015

Because of SCRABBLE


www.inmarketpro.com
Scrabble (n) : a board game in which players build up words from small lettered squares or tiles. (concise oxford dictionary)

For me scrabble is one of interesting game that we can play together with friends or family. My first experience in playing it was taught by my grandfather who used to be a great teacher. At that time my cousins and I were still in elementary school. We played in bahasa Indonesia and tried to make simple words from those scramble letters. I was so confused at first because of the rules and the scores. It was more complicated than playing monopoly, I thought, because we must count every letter we arrange. Every letter has its own score, but after more practices I did it. I was really happy when my Mom bought me magnetic scrabble. Wohooo.. I love it! Unfortunately, now I couldn’t play it anymore. It’s broken and the letters disappears somewhere else. Maybe, we can buy again, Mom? Hehe

Sometimes I won, sometimes I lost. It’s normal, it’s just a game. To be the winner, you should have strategy. We never know what scramble letters will be caught by our hands. Sometimes we get more consonants, more vowels or maybe more blank letters (Oh I love blank letters so much!) haha. Blank letters use for alternative letter as you want. With limited letters we should get more points, so we should know the scores on the board, whether our words pass ‘magic square’ which counts (double, triple letter) scores or (double, triple word) scores. Arrange your words wisely and beautifully! LOL   

Got Z and Q which has the biggest point (10) each letter? It will be your luck or maybe your disaster in the end of game. Why? Because if you can arrange word with those letters, you will get high scores moreover if your word passes the ‘magic square’, but if you can’t use it in your word till the game is over, your score will cut with the accumulation of unused letter. It’s really dangerous. :p

This hobby was not just a hobby when I participated in English scrabble competition for Junior High School student. This competition was held by Pioneer Conversation Club (PCC) of SMAN 1 Malang. Beside that, there are also quiz contest and storytelling contest. My friends who are expert in English participated in those contests. I was so happy together with them as a team from SMPN 1 Malang.

I still remembered the moment, at first round I against a student from other school. Alhamdulillah I won that round. In that round there were three judges, one as a counter, a timer and one who check the word in dictionary. They are students of SMAN 1 Malang. They are so kind and smart. I wanted to be like them. I said I want to go to this school after my graduation and they were so happy. “I wished you can be our junior and you should join us in this extracurricular, PCC,” said Mbak Fara, one of the judges. The other judges are guys, a handsome tall guy with glasses, just like Harry Potter and I named him ‘mas Harry Potter’ and also a guy with Chinese look. Unfortunately I didn’t know their names. Those two guys are also kind and funny. Since that time, I was the fans of mas harry potter and I promised myself to struggle hard on my final exam so that I can be the student of this school and join PCC and of course meet him again. LOL

The second day, I went to semifinal round. Oh my God.. I was so little upset. I had to play with my classmate. I wished we can meet in final round to get double trophy. Unfortunately, our chance to get the trophy is just for one place, it will be me or him. In this moment, I fell into dilemma. We promised to have fair play. Whoever the winner, both of us is the winner because we are one team.  I played my best. Do you know? I got ‘Z’ at the beginning. I was so worried and tried to find the chance to use it. And in the middle of game finally…. I got that chance. M-A-Z-E and triple word score! Whohooo… I felt so happy and little guilty though. Hihihi. I won that round and went to final round. Yippiiiee..

Shortly, I played with two students from other school; it seemed from favorite private school. I didn’t know why the pressure was lower than before. Actually they are smarter and in the end of game I got third place. Not bad! At least I could bring the trophy and prize for my school. (It was my last winning in the competition in school life =p)

Life sometimes is too hard to understand, and have you ever heard the phrase of Paulo Coelho in Alchemist?And, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”


4 months later, I officially accepted as new student of SMAN 1 Malang, being part of Mitreka Satata big family and I did my promise to choose PCC as my extracurricular activity. It was the prize for me. Actually my desire to come in this school is because of language program of this school. Yes that program is the best in my town (proud of it :p). I will choose language class as my path in the future. And….of course It is also because my Mom is one of the alumni of this school. Hehehe… and the last reason is, because of my mas harry potter though I couldn’t meet him again in this school because he graduated in the same year I entered. *sigh*

I wished I can meet him in the annual inauguration ceremony of PCC. The alumni are invited on that occasion, but I never found him. Lately I knew that he was not the PCC member, he just helped his friends as a committee. Hmmm..

But…friends, life always gives us more surprises than we expected. Who knows if in my second year of joining PCC, I was being president of PCC (hey that was my first experience become a chief of an organization) and also the committee of the same competition as I participated before. So..you should be more careful if you want something. You will never know what surprises that wait for you in the future. I choose to dream and follow my path though I found it’s not as smooth as we plan. Still, God knows the best.  

Man proposes, God disposes


(It has been long time no write in English and I felt so awkward. Hihihi. After this I promised myself to write more regularly ^^v)

Malang, July 15th 2015




Monday 6 July 2015

Roller coaster of Life. episode Juni

www.miadventure.com


Pernahkah Anda merasakan hidup Anda terlalu datar? Monoton? Monokrom? Ah..mungkin Anda butuh piknik (hehehehe)


Mungkin juga Anda butuh semacam life twist, chaos, yang akan mengobrak-abrik kenyamanan hidup yang selama ini terasa stagnan. Beberapa bulan lalu saya merasakan demikian. Bergumul dengan rutinitas yang berputar bak bianglala, konstan, ke atas lalu ke bawah dengan tenang, tak ada tantangan yang memacu adrenalin. Bersyukur mengalami kemudahan dan mendapat rezeki, namun siapa sangka bahwa kemudahan dan ketenangan tersebut justru membuatku terlena, kurang waspada, dan kurang hati-hati. Kenyataannya, tak ada samudera yang benar-benar tenang, karena samudera yang terlihat terlalu tenang seringkali membawa pertanda akan datangnya badai yang tak terduga-duga. Badai dalam hari-hari tenangku pun akhirnya menampakkan wajahnya.  Dan bianglala yang konstan itupun menjelma menjadi sebuah roller coaster.

Ketika berada di atas kita bisa tertawa, berteriak lepas, memandang ke segala arah dengan bebas dan merasa terbang. Namun apa yang terjadi ketika tiba-tiba Anda harus meluncur dari ketinggian sekian meter? Kalau saya sih merasa jantung ini mau copot, lepas dan agak takut menghadapi perubahan yang tiba-tiba ini.  Lalu tangan saya akan gemetaran dan rasanya ingin menangis. Tapi setelah itu rasanya lega sekali setelah permainan itu berakhir. Plooong.. Begitu pun hari-hari di bulan Juni ini.

Tak ada yang lebih bijak, dari hujan bulan Juni.Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu.

Mengutip sebait puisi Hujan Bulan Juni karya Pak Sapardi, sastrawan favorit saya. Sungguh tepat nian bait ini untuk hati yang lelah, galau, suntuk, ragu-ragu dan gundah gulana.

Harapan saya sempat pupus di awal Juni ini. Harapan yang saya rajut dengan benang-benang optimis itu terburai satu per satu. Namun Allah Maha Baik, Ia tak membiarkan saya bersedih terlalu lama. Melalui sebuah buku tentang quantum Ikhlas yang saya pinjam dari seorang sahabat sungguh dapat menumbuhkan kembali gelombang-gelombang positif di pikiran saya. Di sinilah, praktik untuk ikhlas itu dituntut secara nyata dan bukannya hanya sebatas teori kata-kata saja. Saya bersyukur sekali memiliki banyak kawan dan sahabat yang tak hentinya menghibur saya dan meyakinkan saya bahwa harapan itu akan berbunga di musim yang tepat, mungkin bukan musim kemarau di bulan Juni ini, tapi di musim lain yang lebih bersahabat. Di situ saya belajar untuk lebih bijak dan tak terjebak dalam kesedihan.

Pertengahan Juni ini kami memulai puasa Ramadhan. Esensi ibadah puasa seperti yang telah kita pahami adalah tentang melatih kesabaran, di samping menahan lapar, haus dan hawa nafsu sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Bagaimana mungkin kita belajar tentang kesabaran jika tak ada ujiannya? Teringat lagi English proverb yang sering kali didengungkan oleh guru bahasa inggrisku saat SMA : Smooth sea never makes a good sailor.  Lautan yang tenang tak akan menghasilkan pelaut yang handal. Ujian kali ini cukup rumit, tak hanya untuk saya, tetapi juga untuk sahabat-sahabat saya. Seperti yang telah saya paparkan di awal, lautan yang tampak tenang bisa saja menjadi pertanda datangnya badai. Selama ini hubungan yang tercipta di antara saya dan orang yang berkonflik ini terlihat biasa saja, tak ada masalah yang terlihat, namun ternyata ia bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Bom itu berupa perlakuan yang membuat saya muak. Tak perlulah kuceritakan di sini. Memang rasa kesal itu hanya bisa ku ekspresikan dengan air mata dan coretan pada sketch book ku, hingga tanganku gemetar. Begitulah caraku menyalurkan kekecewaanku. Semoga ia segera mendapat hidayahNya. Becik kethitik ala ketara. Perbuatan buruk sekecil apapun nantinya akan terlihat.

Saya mengalah, bukan berarti saya kalah atau menyerah. Jika bertahan justru akan menambah konflik dan keresahan batin, maka pergi adalah jalan keluarnya. Berpisah secara baik-baik dan memulai kebersamaan lain di tempat yang lain mungkin akan lebih baik bagi kedua belah pihak. Dan saya percaya, jarak dan waktu akan meredam api perseteruan yang terselubung itu. Dan sore itu......

Menjelang buka puasa, saat senja menghias langit dengan warna jingga, ungu, dan merah muda, kami berpamitan.  Mereka yang tak pernah mengira kami akan pergi, menangis sejadi-jadinya. Mereka kehilangan sosok kakak dan pembina yang telah mereka sematkan pada kami selama ini. Kekesalan kami, alasan kami pergi bukanlah pada mereka. Kami menyayangi mereka, kami ingin bersama mereka, namun keadaan lain mendesak kami untuk tak lagi bertahan. Sungguh! Perpisahan adalah salah satu hal yang paling kubenci. Siapalah di dunia ini yang tak bersedih menghadapi sebuah perpisahan? Air mata itu lagi-lagi membanjiri pipi kami. Sakit rasanya melihat adik-adik kami ini menangis, melarang kami pergi setelah kurang lebih 1,5 tahun bersama-sama setiap harinya, tapi kami bisa apa? Kami pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. Selamat tinggal adik-adik asrama. Semoga kalian selalu dalam lindunganNya.

tim paduan suara SMP-SMA
tim tari saman SMP-SMA















If you're brave enough to say good bye, Life will reward you with a new hello (Paulo Coelho)


Jika kamu cukup berani untuk mengucapkan selamat tinggal, hidup akan memberimu hadiah berupa sebuah pertemuan yang baru.




Minggu-minggu terakhir bulan Juni saya dipertemukan dengan orang-orang yang telah menginspirasi saya hingga saat ini. Bertemu dengan guru favorit saya di SMA, guru bahasa Prancis saya yang pertama, para dosen saya yang selalu mensupport saya, kolega pengajar bahasa Prancis yang selalu membantu saya dan juga kawan-kawan saya di perkuliahan. Meski singkat pertemuan kami hari itu, namun memberi saya semangat bahwa masih banyak dan panjang yang harus saya perjuangkan untuk menjalani passion yang saya pilih sebagai jalan hidup. Kisah-kisah sukses mereka dan orang-orang yang mereka ceritakan membuat saya lebih termotivasi untuk merajut kembali harapan-harapan yang terburai. Menguatkan kembali pilihanku sebagai pengajar. Merci beaucoup.  Je vous aime  pour toujours. :)

kongres pengajar bahasa Prancis se-Jatim

bersama para guru dan dosen, my inspirator :)

avec Isabelle
Meski Juni hampir berakhir, lika-liku ini nampaknya juga usai. Perpisahan kembali hadir tanpa permisi. Kawan saya, sekaligus tutor saya, Isabelle pun harus meninggalkan Indonesia dan kembali ke Prancis. Masa magangnya telah berakhir. Teringat kembali perjuangan di bulan Februari-April bersamanya. Kami belajar tentang hal-hal baru untuk mengembangkan bahasa Prancis kami. Ia sangat antusias dalam membantu kami banyak hal. Saling berbagi dan bertukar pikiran. Dan kini ia kembali ke Marseille. Au revoir mon amie, sampai jumpa di Marseille.













sama mbak iin
Saya kira perpisahan itu sudah yang terakhir, namun ternyata tidak. Di penghujung Juni, lagi-lagi perpisahan itu nyata. Sahabat, kakak, kolega yang baru kukenal 2 bulan belakangan ini juga harus pulang dan memutuskan untuk tak kembali ke sini. Teringat saat-saat kami piknik bersama, saat kami bekerja bersama, saat kami bercerita-cerita sebelum tidur, tertawa dan menangis bersama menghadapi berbagai permasalahan, ah rasanya terlalu singkat kebersamaan kami itu. Namun kami tak bisa menahannya di sini. Semoga Mbak Iin sukses di sana. Jangan pernah lupakan kebersamaan yang singkat namun sangat bermakna ini.

empat sekawan (1)

empat sekawan (2)


It's been a long day without you my friend, and Ill tell you all about it when I see you again. Weve come a long way from where we began, Oh Ill tell you all about it when I see you again.

*Backsongnya tepat banget :(*

Kita tak akan pernah tahu betapa berartinya sebuah kebersamaan, sebelum kita mengenal perpisahan. Nikmati kebersamaan itu dengan sepenuh hati, agar tak ada penyesalan di akhir cerita. Selamat tinggal Juni, terima kasih untuk semua pelajaran berharga ini. Selamat menjalankan ibadah puasa.

Tak ada yang lebih bijak, dari hujan bulan Juni.
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu.




Selamat datang Juli, semoga tak ada lagi jejak kaki yang ragu-ragu di jalan itu. Sampai jumpa di musim selanjutnya. Ketika pucuk-pucuk ranting telah dihiasi dedaunan. 

Jombang, 050715