Tuesday 22 December 2015

Perjalanan menuju puncak tak pernah mudah. Namun juga tak sulit jika berusaha.


pemandangan gunung Panderman dari kaki gunung
 Masih teringat dalam memori saya tentang perjalanan pertama mendaki gunung. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP kelas 1 dan mengikuti kegiatan jambore pramuka cabang Malang yang diselenggarakan selama 5 hari dan diikuti oleh perwakilan anggota pramuka penggalang Kota Malang. Senang sekali rasanya mendapat kesempatan untuk melakukan pendakian bersama kawan-kawan pramuka. Dari bumi perkemahan Hamid Rusdi Buring kami naik truk sapi ke kawasan gunung Panderman, Desa Pesanggrahan, Kota Batu. Kami memulai pendakian sore hari bersama-sama. Tujuan kami bukanlah puncak, melainkan pos pertama yakni Latar Ombo. Saya merasa senang sekaligus deg-degan karena saya belum memiliki pengalaman mendaki, bagaimana kalau terjadi apa-apa di sana? Namun kekhawatiran saya terhibur dengan pemandangan indah pepohonan di kanan-kiri jalan yang masih asri dan tawa canda kawan-kawan. Begitulah para pramuka memang selalu terlihat bahagia, bukan? :D Menjelang senja, udara mulai terasa dingin dan saya mulai kelelahan. Akhirnya sebelum sampai latar ombo, kakak pembina menyuruh saya untuk berhenti saja jika tidak kuat melanjutkan perjalanan. Nafas saya mulai tersengal – sengal.  Saya pun memutuskan berhenti sambil memperhatikan kawan-kawan lain yang masih melanjutkan perjalanan ke atas. Ternyata udara menjadi semakin dingin saja ketika kita tak berjalan. Saya sedikit kecewa dengan pencapaian saya yang hanya sampai di sini. Namun saya cukup senang karena kemudian pengalaman tersebut menjadi oleh-oleh menarik yang dapat saya ceritakan dalam pelajaran menulis cerita di kelas bahasa Indonesia dan mendapat tanggapan positif dari guru bahasa Indonesia saya yang masih saya ingat hingga sekarang.

pepohonan pinus
    “Anna, naik gunung yuk!” ajak Yudhis, kawan saya sekelas di bangku kuliah.
               “Ke mana?” tanyaku dengan penuh semangat. Bayangan pendakian masih menjadi hal yang menyenangkan bagiku. Apalagi saat itu sedang ngetren buku 5 cm karya Mas Donny Dhirgantoro tentang pendakian ke puncak Mahameru. Bukan hanya deskripsi tentang keindahan alam pegunungan saja yang membuatku tertarik, tetapi juga tentang kekuatan tekad dan keberanian untuk melewati kesulitan-kesulitan hingga akhirnya dapat mencapai tujuan di puncak gunung. Saya akui semangat yang dikobarkan dalam cerita itu begitu mempengaruhi semangat saya dan juga para pembaca lainnya, saya kira.
                “Panderman! Sama Mas Yayan dan Mbak Chloe!”
          Teringat akan misiku yang belum terselesaikan dulu, saya pun mengiyakan ajakannya. Gunung itu bisa terlihat dari loteng rumahku jika langit cerah, terutama saat senja. Cantik sekali. Bolehlah saya mencoba lagi, mumpung ada temannya. Mas Yayan adalah kakak kelasku sedangkan Mbak Chloe adalah dosen kami berkebangsaan Prancis yang memang sangat senang berpetualang, fotografi dan mendaki gunung. Berangkatlah kami berempat dengan motor dan memulai pendakian pada siang hari jam 11. Bisa dibayangkan betapa panasnya siang itu. Sebenarnya saya ingin memulai lebih pagi, tapi apa daya jam karet masih beroperasi. Hehehe.
                Akhirnya setelah kurang lebih 8 tahun, saya kembali lagi ke gunung yang namanya konon berasal dari nama seorang meneer Belanda, Van der Man lalu diucapkan oleh orang jawa menjadi Panderman. Semangat saya masih menggebu-gebu meski di awal mula sudah disapa dengan tanjakan paving yang cukup curam. Saya memandangi puncak gunung yang tampak hijau segar itu. Entah mengapa tiba-tiba rasanya perut saya mual dan cukup berat untuk melanjutkan perjalanan. Saya pun sering berhenti, rasanya tangan saya gemetaran dan mau muntah, padahal saya hanya berjalan tanpa membawa tas di punggung.  Meskipun sudah dihibur dengan gurauan teman-teman, foto-foto, tetap saja rasa mual itu tak kunjung hilang. Ternyata setelah saya cari tahu, gejala tersebut dinamakan altitude sickness atau acute mountain sickness. Hal tersebut dipengaruhi oleh semakin tinggi permukaan yang didaki, semakin menipis kadar oksigen yang masuk ke paru-paru. Apalagi jika stamina pendaki tidak bagus karena kurang berolahraga, misalnya, sehingga kondisi tubuh mudah lelah.  Gejalanya bisa berupa mual, pusing, bahkan muntah.
                Setelah rasa mual saya mereda karena diberi Mbak Chloe minuman susu fermentasi, kami pun melanjutkan perjalanan ke atas. Namun entah sedang apes mungkin, kami berempat yang memang belum pernah sampai puncak, tersesat padahal kami sudah dibekali denah yang digambar langsung oleh juru kunci tempat kami memulai pendakian. Alih-alih mengambil rute menuju puncak, kami justru mengambil rute memutar kembali turun. Kami tersadar setelah bertemu dengan beberapa pendaki lain. Para pendaki banyak yang bermalam di puncak atau di Latar Ombo. Rata-rata mereka berkelompok. Kami memang tidak ada niatan untuk bermalam, sehingga hanya membawa bekal untuk piknik. Akhirnya, ya sudahlah kami kembali mengikuti rute turun dan tidak meneruskan perjalanan ke puncak. Kami pun beristirahat di sebuah pondokan kecil setelah sumber air yang mengalir deras dan sangat segar. Air di sini dapat diminum langsung, tampak beberapa pendaki yang baru memulai mengisi botol minumnya dengan air dari sumber tersebut. Di pondokan kecil itu, kami memasak mie instan, karena kami juga membawa kompor kecil untuk persiapan memasak mie di puncak. Apa daya akhirnya kami cuma bisa menikmati bekal di pondokan kecil sambil ngobrol dan berfoto.  Senja mulai turun, kami pun mengakhiri piknik singkat itu. Cukup melelahkan buatku, namun mungkin tidak bagi sahabat-sahabatku. Maaf puncak Basundara, mungkin lain waktu saya akan datang lagi. Dua kali gagal sampai puncak. Ada rasa kecewa sekaligus harapan untuk mencapai puncaknya sekali lagi. Apalagi Ibu saya yang pada saat remaja pernah berkemah di puncaknya, membuat tekad saya semakin kuat. Saya juga pasti bisa. Entah kapan.
***
                Seiring berjalannya waktu, sahabat-sahabat saya pun pergi. Mereka bekerja di kota yang berbeda-beda, Mbak Chloe pun kembali ke Prancis dan melanjutkan petualangannya. Saya pun demikian. Semenjak bekerja di Jombang, setiap pulang ke Malang saya selalu melewati kawasan pintu gerbang gunung panderman di Desa Pesanggrahan. Terlihat jelas puncaknya memanggil-manggil saya untuk ke sana. Saya hanya berangan-angan dan sempat mengajak adik kelas saya yang sudah sering melakukan pendakian untuk ke sana lagi. Namun waktu belum bersahabat. Hingga kemudian di bulan Oktober 2015, seorang kawan baru dari Jakarta yang saat ini bekerja di Surabaya, Ria, mengajak saya untuk ke sana. Entah apa yang membuatnya tertarik, namun bagi saya ini adalah suatu tanda yang baik. Mumpung musim hujan belum datang menghampiri, saya setujui ajakannya. Kami pun mengajak 3 orang lagi, kali ini dengan Ario dan Mas Dwi yang sudah berpengalaman ke sana beberapa kali, sehingga kami tak khawatir akan tersesat lagi. Lalu saya mendapat teman baru, namanya Kicha, yang tidak disangka-sangka adalah adik kelas saya semasa SMP, dan kami baru menyadari saat berbincang-bincang dalam perjalanan. “Hahaha, Malang memang sempit!” Begitulah reaksi kami.
ladies in action
                Ternyata sudah banyak hal yang berubah sejak terakhir kali saya ke sana. Saat ini sudah ada parkiran yang cukup luas untuk penitipan sepeda motor. Untuk tiket masuknya kami hanya membayar Rp 7.000 saja. Sebelum mendaki, seorang kawan mengingatkanku untuk santai, rileks, dan tak perlu memikirkan apa-apa. Kekhawatiran dari dalam diri sendiri inilah yang justru membuat kita pusing dan mengalami altitude sickness. Emosi saya pun tak semenggebu-gebu yang kemarin. Kali ini lebih ‘woles’ alias slow, yang penting harus bisa menikmati perjalanan. Perjalanan kami isi dengan ngobrol, tertawa, dan berfoto (dengan wajah berpeluh dan berdebu tentunya) dan melupakan segala permasalahan yang kami hadapi masing-masing.
full team :)
               












jalanan tanah berdebu
 Saat itu, musim penghujan belum datang. Tanah kering dan berdebu. Jangan tanya bagaimana rupa pakaian, tas dan sepatu kami yang sudah terkontaminasi butiran-butiran debu. Warna aslinya pun berubah warna menjadi coklat. Kami harus mengenakan masker agar tidak banyak debu yang masuk ke saluran pernapasan kami. Di sepanjang jalan setapak yang kami lalui, kami bertemu dengan para pendaki lain juga yang turun dari puncak. Walaupun tak kenal, kami saling menyapa bahkan tak jarang yang memberikan semangat. Mereka ada yang berkemah di sana namun ada juga yang seperti kami yang hanya piknik. Kami melalui 2 pos, yakni latar ombo dan watu gede. Ada berbagai macam medan yaang kami lalui, seperti medan tanah yang cukup landai, bebatuan besar, batang pohon hingga tanah yang sangat curam sehingga kami harus berpegangan pada akar pohon atau batu yang menyembul di atas tanah. Saat itu ada cerita lucu ketika mandaki medan yang cukup curam, tiba-tiba pijakan dan peganganku tidak terlalu kuat, sehingga saya pun tergelincir ke bawah, padahal di bawah masih ada kawan yang akan berusaha untuk naik. Alih-alih merasa sakit, saya dan kawan-kawan justru tertawa bersama. Kadang menertawakan ketidakberuntungan itu cukup menyenangkan. Selain itu saya juga menjumpai medan yang menurut saya menakutkan. Sebelah kiri adalah tebing dan sebelah kanan adalah jurang  tanpa tanaman sebagai pagarnya, sedangkan tanak pijakan kami hanya selebar sepasang kaki yang berjajar. Saya memiliki phobia ketinggian yang meski tidak parah, rasanya kaki ini sulit digerakkan. Tangan pun agak gemetaran. Saya berpegangan pada tanah tebing, rencananya sih mau merayap di situ seperti spiderman hahaha, namun seorang pendaki yang berpapasan dengan kami, memberi saya semangat untuk tidak takut melewatinya. Akhirnya saya pun berhasil melewati sambil deg-degan dan merapalkan doa dalam hati. Yes! Saya berhasil mengalahkan kekhawatiran dalam diri saya. Mas Dwi selalu berkata ‘landai..landai..’ untuk menyugesti kami saat kami ingin menyerah.

Puncak Basundara
Setelah sekitar 3,5 - 4 jam kami berjibaku dengan medan yang  menguras tenaga, sampailah kami di puncak Basundara, 2045 mdpl. Senang sekali rasanya. Alhamdulillah akhirnya sampai juga. Saya dan teman-teman duduk menikmati bekal. Piknik sambil memandang hamparan indah di hadapan kami. Sejauh mata memandang deretan hijau pepohonan pinus dan kawan-kawannya. Kata orang-orang, di puncak kami nanti akan bertemu dengan segerombolan kera yang bergelantungan di pepohonan. Namun saat itu kami tidak bertemu dengan mereka. Sambil menikmati bekal, saya sempatkan sedikit untuk berdialog dengan diri saya sendiri. Dalam perjalanan, Mas Dwi bertanya pada saya, “Cari apa kamu Na di Panderman? Di sana nggak ada apa-apa lho.”

Saya hanya tersenyum. Sebenarnya saya sudah menemukan apa yang saya cari ketika saya sadar bahwa saya sudah sampai di puncak. Bukan, ini bukan hanya soal pencapaian di puncak. Melainkan saya merasa satu langkah lebih berhasil daripada pendakian sebelumnya. Pikiran saya mulai merancang analogi. Kita ibaratkan sebuah gunung adalah sebuah impian dan cita-cita. Saya gagal di percobaan pertama, saat itu karena saya tidak kuat secara fisik. Kemudian saya mendapat kesempatan kedua, namun lagi-lagi saya gagal, karena keterbatasan informasi yang membuat saya tersesat. Lantas, apakah saya menyerah? Sempat terpikir demikian, namun ternyata saya mendapatkan kesempatan itu lagi, dan kali ini saya sudah tahu kelemahan saya dan berusaha untuk mempersiapkan sebaik mungkin, dan Alhamdulillah saya sampai di puncak. Hei, bukankah perjalanan menuju cita-cita juga seperti itu? Hal ini sekaligus menjadi tamparan bagi saya untuk tak berhenti mencoba di kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya, tentunya dengan bekal yang memadai, terutama bekal mental. Beberapa kawan saya memang baru pertama kali ke sini dan mereka langsung bisa mencapai puncak, tak seperti saya. Namun saya tak peduli. Orang-orang juga tak akan mempersoalkan berapa kali kamu mencoba dari kegagalan, yang mereka tahu adalah kamu sudah berhasil. Lagipula, dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain akan selalu membuat kita merasa kurang beruntung. Bagi saya, sukses adalah ketika kita mampu menjadi lebih baik dari diri kita sendiri di masa lalu, jika saat itu saya hanya mampu sampai Latar Ombo, maka pencapaian saya 10 tahun kemudian adalah Puncak Basundara.
Keindahan dari atas gunung


















Bersama kita bisa 
Berada di puncak bukan berarti kita bisa menyombongkan diri. Saya pernah membaca tulisan, entah siapa yang menulis, semakin dekat kita ke langit, kita harus lebih membumi. Semakin berada di puncak, semakin dekat kita pada langit, harus semakin rendah hati kita bersikap. Ya, mungkin seperti itulah maksudnya. Saya pun baru pemula dan bukan siapa-siapa dibandingkan kawan pendaki lainnya. Udara segar masuk mengaliri saluran pernapasan. Di kejauhan saya melihat ada asap kebakaran, ah rupanya kemarau membuat bagian kecil hutan pegunungan ini berasap. Burung-burung berterbangan bebas di langit biru cerah. Sungguh kecil sekali diri ini di hadapan Sang Maha Kuasa yang menciptakan keindahan ini. Bendera merah putih berdiri gagah di ketinggian 2045 mdpl, menyambut kedatangan anak-anak muda penuh semangat. Namun sayang, beberapa papan dan bebatuan telah dicorat-coret oleh tangan-tangan yang terlampau kreatif namun tak pada tempatnya itu. Semoga ke depannya mereka tersadar untuk lebih menjaga kebersihan dan keindahan alam sekitar. Seperti halnya alam menyediakan berbagai kebutuhan kita.


pique-nique
Medan turunan













Setelah dirasa cukup menikmati piknik, kami pun turun. Saya masih diliputi ketakutan untuk turun, takut tergelincir hingga akhirnya saya memutuskan untuk meluncur seperti anak kecil yang bermain di perosotan namun terbuat dari tanah itu. Sangat asyik hingga hilanglah rasa takut saya. Tak saya pedulikan celana training yang warnanya sudah lebur dengan warna tanah, kapan lagi kita bisa seperti ini. Nikmati saja prosesnya. Akhirnya kami sampai di bawah dengan selamat dengan waktu yang lebih cepat daripada ketika naik tadi.
                



Perjalanan bukan hanya tentang tujuan, pendakian bukan hanya tentang sampai ke puncak, tapi lebih dari itu, perjalanan dan pendakian adalah tentang menikmati proses, mengikis ego, merekatkan persahabatan, menjalani setiap momen, mendengarkan deru nyanyian angin, merasakan terjalnya bebatuan dan tanah, serta ikut merasakan menjadi bagian dari hutan sekitar, maka saya tak lagi merasa sendiri. Jagalah alam sekitar kita, maka alam pun akan memberikan tempatnya untukmu. Salam Lestari!

22122015

Informasi pendukung : infopendaki.com
               

                

No comments:

Post a Comment