Sunday 5 May 2019

Dilema Menjadi Working Mom

 Menjadi seorang wanita karir adalah salah satu hal yang saya inginkan setelah lulus kuliah S1. Hal ini dikarenakan saya ingin bisa membantu dan meringankan beban keluarga. Saya sangat bersyukur setelah wisuda, saya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliah saya. Selama 3,5 tahun saya bertahan di tempat kerja saya. Tentunya selama itu saya mengalami fase naik turun, bersemangat, jenuh, lelah, bahagia, silih berganti, dan maju mundur untuk mengajukan pengunduran diri. Saat jenuh, saya memilih untuk melakukan hobi saya seperti menulis, menggambar, dan menjadi relawan. Sungguh menyenangkan bisa tetap bekerja dan berkegiatan sosial karena selain dapat menambah pengalaman, semangat hidup, juga dapat menambah kawan dari berbagai macam provinsi dan berbagai daerah. Saat itu saya belum berkeluarga sehingga lebih fleksibel ke mana pun yang saya inginkan. Setelah 3,5 tahun bekerja saya pun memilih berhenti dan pindah bekerja ke kota kelahiran. Selama 3 bulan saya istirahat sejenak dari rutinitas bekerja di kantor. Selama itu saya menjadi asisten penerjemah freelancer dan banyak membaca buku sambil mengajukan lamaran menjadi pengajar bahasa di sebuah SMA dan sebuah bimbingan belajar.
6 bulan menjadi guru, pengajar bimbel, penerjemah sambil mempersiapkan pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk berjalan beriringan. Waktu tidak dapat berkompromi dan saya bersyukur bisa melewatinya walaupun banyak tantangannya seperti lelah fisik, pikiran dan hati. Desember 2017 saya pun menikah dan memulai cerita baru. Untuk masalah pekerjaan, suami tidak pernah melarang saya untuk bekerja dan mengembangkan ketrampilan. Kami berdua sama-sama dibesarkan oleh ibu yang bekerja sehingga kami terbiasa mandiri sejak kecil. Namun demikian, beradaptasi dengan hal baru dan rutinitas baru tidaklah mudah bagi saya. Sebelumnya saat single saya dapat melakukan apa saja yang saya inginkan, pergi ke mana saja, sekarang saya harus membagi waktu antara mengurusi urusan rumah dan bekerja.  Awal pernikahan saya merasa bingung beradaptasi dan mengatur waktu saya untuk urusan domestik dan urusan pekerjaan. Apa iya hanya saya yang merasa seperti ini? Saya melihat orang-orang biasa saja meskipun mereka sudah menikah, tidak ada yang berubah dengan performa dalam pekerjaan. Ternyata itu hanyalah prasangkaan saya saja. Setelah saya saling bercerita dengan seorang kolega yang menikah di bulan yang sama dengan saya, saya merasa mendapatkan teman seperjuangan. Saya tidak sendiri rupanya.
Dikarenakan saya merasa jenuh dengan rutinitas harian, suatu hari saya memutuskan untuk bergabung dalam sebuah komunitas yang mewadahi ibu-ibu dan calon ibu untuk belajar banyak hal, kebetulan saat itu komunitas tersebut sedang membuka pendaftaran anggota baru. Kami belajar layaknya mahasiswi dan ada wisuda di akhir pembelajaran. Ada fasilitator yang akan memberikan materi untuk berdiskusi secara online dan diakhiri dengan tugas mingguan dan tantangan. Rata-rata mereka adalah ibu-ibu yang sudah memiliki anak balita. Ada yang sebagai working mom dari berbagai macam profesi, ada yang full time mom namun ada juga yang memutuskan resign dari pekerjaannya setelah memiliki anak dan memiliki kegiatan sampingan seperti bisnis online shop atau bisnis kuliner. Kadang saya merasa agak minder karena saya baru belajar menjadi istri. Namun setelah saling mengenal di grup WA dan menghadiri pertemuan, ternyata ada juga yang masih belum menikah. Lagi – lagi kami harus bersyukur karena mengenal komunitas ini lebih cepat sehingga dapat menjadi bekal kami untuk mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak kami ke depannya.  Sebuah positive support group untuk mewarnai hari-hari kami agar tidak jenuh dengan rutinitas dan beban kerja harian.
Hari demi hari terlewati. Hingga saat ini usia pernikahan kami 1 tahun 3 bulan. Saat ini kami belum dikaruniai anak. Terkadang hati ini sedih. Orang-orang di sekitar kami yang bukan keluarga dekat selalu bertanya kepada kami. Kolega di tempat kerja pun juga demikian. Awalnya saya cukup risih, sampai kadang malas untuk bertemu karena pertanyaan tentang kehamilan selalu menjadi pembahasan utama. Bahkan ada juga yang beranggapan karena saya terlalu kelelahan saat bekerja dan stress, sehingga saya belum bisa memiliki anak. Ah..pusing kepala Barbie! Lama-lama akhirnya saya pun terbiasa. Tidak semua komentar orang harus kita tanggapi dan tidak semua hal harus kita urusi. Bersyukur suami saya selalu menasihati agar lebih santai saat menyikapinya dan tak perlu dimasukkan ke hati. Usaha dan doa terus kami lakukan. Namun Tuhan punya kehendak lain. Mungkin kami masih diberi waktu untuk belajar memantaskan diri menjadi orang tua. Mungkin kami harus menyelesaikan dulu hal-hal yang menjadi beban kami agar nantinya kami tidak merasa bersalah dan akhirnya menyalahkan keadaan. Kami nikmati waktu kami berdua untuk lebih dekat dan mengenal lebih dalam satu sama lain. Saya sempat berpikir ke depannya, ketika kami telah memiliki buah hati nanti, apakah saya akan lanjut bekerja atau mengajukan pengunduran diri? Sebuah PR bagi saya untuk hari esok!
Soal tetap bekerja atau resign setelah memiliki anak pernah mengusik pikiran saya. Saya belajar banyak dari mengobservasi maupun saat sebagai tempat sampah curhatan teman-teman yang sudah memiliki anak, baik yang bekerja maupun sebagai ibu rumah tangga. Beberapa teman yang saat ini memilih menjadi ibu rumah tangga, memutuskan resign untuk mengurus sendiri anaknya, menyatakan bahwa mereka mengalami post power syndrome. Bingung dan jenuh dengan kegiatan sehari-hari bersama dengan bayi dan balita. Dulu ketika masih bekerja, mereka berinteraksi dengan banyak orang, namun kini mereka hanya berinteraksi dengan bayinya sehari-hari sambil menyelesaiakan pekerjaan rumah tangga. Mereka rindu masa-masa bekerja dan bersosialisasi dengan teman-teman dan kolega. Mereka menganggap ibu/istri yang bekerja lebih keren. Namun demikian mereka juga tidak tega jika harus menitipkan pada pihak lain. Mereka ingin mendidik anak dengan cara mereka sendiri. Di sisi lain, tibalah giliran saya mengamati dan bertanya kepada teman yang bekerja dan menitipkan anaknya yang masih bayi atau balita. Tak perlu jauh-jauh, mengingat apa yang dilakukan ibu saya dulu sebelum berangkat bekerja, saya merasakan hal yang tidak mudah. Harus menyiapkan keperluan bayi dan sarapan bagi keluarga sebelum berangkat ke kantor. Menitipkan anak pada kakek neneknya atau di day care. Pumping di sela-sela jam istirahat. Khawatir dengan kondisi anak, apalagi jika sakit. Menemani anak belajar, berbincang dengan keluarga, mengerjakan pekerjaan rumah tangga setelah pulang kantor.  Sepertinya melelahkan dan jika memang diharuskan memilih salah satu, mereka akan memilih bersama anak. Namun demikian ada tanggung jawab yang harus mereka lakukan di kantor. Sebuah tanggung jawab yang mengharuskan mereka untuk mengorbankan beberapa jam dalam sehari untuk bekerja. Entah nantinya saya akan memilih yang mana, semoga nantinya baik bagi kami.
Jujur saya kadang merasa galau. Kegalauan saya seringkali berakar dari perasaan membandingkan diri dengan teman-teman terutama teman-teman lama yang hanya bertemu di sosial media. Tentang pencapaian baik pencapaian pribadi maupun pencapaian pekerjaan. Saya sepakat dengan sebuah gagasan bahwa membanding-bandingkan adalah salah satu faktor penghambat kebahagiaan. Merasa bahwa hidup orang lain lebih baik, lebih enak, sedangkan kita tak tahu permasalahan apa yang sedang mereka hadapi di balik kebaikan yang ia dapatkan. Hidup ini, seperti pepatah jawa, “Urip iki sawang-sinawang”. Hidup ini berdasarkan perbedaan sudut pandang saja.  Mereka yang terlihat bahagia ataupun sukses sebenarnya juga memiliki permasalahan yang mereka hadapi namun tak pernah kita ketahui. Bahkan mungkin dari ketidak beruntungan yang menimpa kita, ada hikmah yang bisa kita ambil. Ada hal-hal positif yang dapat kita jadikan pelajaran untuk masa depan. Tuhan selalu punya rencana yang lebih indah daripada rencana kita kan?
Dalam lingkungan ibu-ibu pernahkah kita dengar perdebatan, mana yang lebih baik? Menjadi ibu yang bekerja? Atau menjadi ibu rumah tangga? Mungkin kalimat tersebut tidak selugas itu terlontar, namun tersirat dalam pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali ditanyakan? Misalnya, untuk ibu yang bekerja, akan mendapatkan pertanyaan “Kerja dari pagi sampai sore, apa nggak kasihan anaknya?” Sementara itu, untuk ibu rumah tangga akan mendapatkan pertanyaan, “Udah sarjana, kok sayang nggak kerja?” Mungkin terdengar sepele tetapi menyakitkan bagi ibu-ibu yang telah berani memutuskan dan mengambil sikap. Menerima keadaan mereka saja butuh waktu, apalagi harus beradaptasi, dan masih harus mendapat pertanyaan basa-basi namun menghakimi tersebut. Hal-hal semacam itu justru akan membuat seorang ibu merasa bersalah dengan peran dan keputusan yang sudah diambilnya. Tak sedikit yang berujung stres dan menjalani perannya dengan setengah – setengah. Seorang perempuan, ibu, baik yang memilih tetap bekerja maupun yang memilih menjadi ibu rumah tangga pastinya sudah memilih yang terbaik untuk keluarganya masing-masing. Dua-duanya menurut saya baik, tergantung pada prioritas dan keputusan keluarga masing-masing, dan kita harus saling menghargai pendapat dan keputusan itu.
Dengan peran saya sebagai seorang perempuan yang bekerja ini, tentunya kami dihadapkan dengan banyaknya tuntutan dari kantor atau institusi. Satu pekerjaan belum usai, sudah harus menyelesaikan pekerjaan lainnya. Beberapa pekerjaan dengan waktu sedikit kadang harus segera diselesaikan. Akhirnya banyak dari kami harus multitasking. Memang sepintas cara itu dapat efektif, namun ketika saya membaca dalam sebuah buku, multitasking ini berdampak tidak baik, terutama bagi kesehatan mental. Hal tersebut dapat mengurangi konsentrasi sehingga hasilnya tidak maksimal. Bahkan kita merasa sibuk sekali, namun pekerjaan kita tak kunjung selesai dan malah menjadi kurang produktif. Memang benar, serasa ditampar dengan pemahaman baru saya tentang multitasking. Akhirnya saya memutuskan untuk fokus menyelesaikan satu tugas dahulu baru kemudian yang lainnya. Padahal selama ini baik saat mengerjakan pekerjaan di luar dan di dalam rumah, kami sering mengerjakan beberapa aktivitas bersamaan agar lebih menghemat waktu.
Banyak hal yang saya lalui, banyak hal yang saya alami, kadang kala tidak sesuai dengan ekspektasi dan harapan saya. Di situlah rasa kecewa muncul dan menggerogoti semangat saya yang semula menyala, hingga berangsur-angsur padam. Bercerita, mengalirkan kisah dan rasa yang ada dalam benak dan hati membantu saya untuk lebih baik dalam menerima diri saya, menerima keadaan yang saat ini saya jalani, menerima peran yang diamanahkan pada saya dan suatu saat nanti akan dimintai pertanggung jawabannya. Apakah yang saya lakukan sudah baik? Sudah menjadi manfaat bagi sekitar?  Untuk suatu target atau harapan yang tak sesuai realita, jangan pernah merasa kalah. Lelah boleh namun harus bangkit lagi.  Mulai saat ini, saya selalu berusaha untuk fokus pada apa yang bisa saya ubah dan saya kendalikan. Untuk hal-hal di luar kemampuan saya, saya hanya bisa berserah pada Tuhan serta yakin bahwa Tuhan tidak akan memberikan kesulitan di luar kemampuan kita.

Oleh karena itulah saya sering mendengar, bahwa sebagai apapun, seorang ibu haruslah bahagia agar kebahagiaan dan kehangatan dalam keluarga dapat selalu terjaga. Bahagia dengan peran yang dijalani saat ini, bahagia dan bersyukur dengan pencapaian yang kita usahakan, dan bahagia menjadi dirinya sendiri. Jika menjadi working mom, kita merasa bahagia, maka lakukanlah. Jika menjadi ibu rumah tangga, kita merasa bahagia, maka jalanilah. Jika merasa lelah, istirahatlah. Jika merasa jenuh, mungkin jalan-jalan bersama keluarga atau teman-teman menjadi pilihan yang menarik. Semoga kita bisa menjadi ibu yang bahagia, bijak serta sehat lahir dan batin.
:) 

No comments:

Post a Comment